Kamis, 16 Januari 2014

ORUKI

Dimulai saat 5 orang teman sejawat di perkuliahan Desain Komunikasi Visual merasakan passion dan merasa memiliki permasalahan serupa, yaitu keinginan berkarya yang meluap, tetapi suka awur-awuran atau sembarangan ketika menaruh barang. Kemudian tercetuslah ide spontan untuk membuat dan merancang barang yang paparantieun.

Di awal, masing-masing dari kita belum mengetahui dan menetukan produk apa yang akan dirancang, namun ada hal yang inline dalam referensi kita terhadap kebutuhan akan kerapihan. Hari-hari berikutnya, kita memulai dari wacana untuk menyamakan persepsi brand ini. Pilihannya ada beberapa, antara jiwa clothing yang kekinian mengikuti trend yang sedang hip sekarang, atau atas dasar desain yang sederhana namun fungsional tanpa perlu embel-embel kekinian.

Lalu terbesitlah nama “Oruki”, yang tercetuskan setelah kami hunting di kawasan “maha-material” (kami menyebutkan demikian karena semua brand berbahan dasar garmen dan produk kreatif fashion memperoleh bahan bakunya dari sini) yaitu daerah Pasar Baru (Otista), Cibadak dan sekitarnya. Mungkin nama Oruki ini sendiri terinspirasi dari distro di bilangan Parahyangan yang kami lewati, dan tak sengaja kami menyerap khazanah brand yang terdengar gaul dan distro banget.

Lima varian otak Desain Komunikasi Visual dengan minat yang berbeda-beda bertemu dalam satu project wirausaha, dimana mereka diharuskan untuk memutuskan secara bersama mengenai sebuah brand, dan produk. Mata kuliah ini berlangsung pada semester 7, dengan pembimbing yang telah lama berpengalaman di dunia kewirausahaan dengan brand nya masing-masing dan cukup dikenal juga. Lima orang tersebut adalah Kresna Akhmadi, Aulia Akbar, Inchan Pratiwi, Kalika Nova, dan Nadya Ratu; kelima orang yang sangat jarang dipertemukan dalam satu kelompok utuh dalam perkuliahan-perkuliahan sebelumnya.

Dalam perkuliahan sehari-hari mereka mempunyai latar belakang yang berbeda, seperti Kresna yang memilih jurusan Multimedia, Aulia (akrab dipanggil Beshot) memilih Desain Grafis, atau Inchan, Nadya dan Kalika yang memilih jurusan konsentrasi periklanan. Tentu saja masing-masing dari mereka semua mempunyai pola pikir yang berbeda-beda, dilihat dari jurusan yang mereka ambil, namun dalam satu wadah project wirausaha ini mereka berlima mencoba menyelaraskan satu ide bersama yang akan diangkat menjadi sebuah ide besar yang diwujudkan menjadi beberapa varian produk.

Tim ini akhirnya berencana untuk hang out untuk mencari ide sambil lebih mengenal satu sama lain, dengan cara itulah mereka sebagai desainer bisa mendapatkan insight dari masing-masing personalitas yang berujung dengan satu permasalahan yang tak kunjung belum ada penyelesaiannya—messy desk. Apa yang didiskusikan mengenai hal yang berantakan, mulai dari hati yang berantakan sampai barang-barang tentunya memulai proses dimana masalah ditemukan. Seiring berjalannya waktu masing-masing merancang produk dengan berbahan dasar kanvas dan kayu.


Mengapa kanvas dan kayu?

Dua material dengan substansi yang berbeda mereka coba persatukan, agar mendapat kontras yang harmoni, kanvas memiliki karakterisitik yang baik dan kuat untuk dilebur dengan kayu yang memiliki sifat keras namun hangat. Membangun sebuah brand dengan dasar filosofi kesederhanaan dan fungsional identik serta tidak terlepas dari kerangka pemikiran Jepang. Yang bisa menikmati pekerjaan berat, lalu bersantai sejenak dalam kehidupan yang Zen (kerapihan hidup yang sangat keramat), lalu terbesit kemudian nama dari produk ini secara insidental, dua elemen yang juga ditempa menciptakan frasa julukan dan suku kata. ORU adalah melipat, dan KI adalah kayu.

Saatnya menceritakan bagaimana satu persatu produk ini diciptakan. Dengan berkelana melakukan riset tiap bahan dasar kayu dan kanvas, mulai dari toko Tidar (mencari kayu balsa) sampai ke Tamim (untuk misi pencarian kanvas). Pencarian bahan tidak cukup rumit, namun mencari tukang jahit yang sesuai, itu yang sangat sulit. Agar waktunya efektif, kami pun membagi-bagi tugas. Bagian produksi dan riset tukang jahit, dikerjakan oleh Kalika dan Nadya. Branding Oruki itu sendiri dikerjakan Kresna dan Besot. Sementara itu, Inchan mengurus sosial media agar produk kami dapat dikenal lebih luas oleh khalayak.



Kanvas dan kayu sudah ditangan, sampai pada akhirnya kami mendapatkan beberapa penjahit yang mampu membuat beberapa varian produk kami. Namun, dengan berbagai hambatan, rintangan dan terkadang kekecewaan kami terhadap penjahit tersebut, toh semuanya berjalan lancar.  Kami pun cukup berbangga hati ketika Oruki bisa dipamerkan di sebuah acara wirausaha. 

 

Nama sebuah brand atau yang biasa kita sebut merk adalah identitas yang akan membawa brand tersebut kepada masyarakat serta khalayak yang menginginkannya. Bukannya ingin sok’ Jepang, tapi terinspirasi dari dasar pemikiran serta gaya pembawaan saja, juga didukung dengan tone and manner yang cenderung minimalis.

Tetap, produk ini hakekatnya adalah milik kita, milik  kami, dengan bahan dasar asli Indonesia (kecuali bahan kanvas yang kami cari sedang mengalami kekosongan, kembali kita memakai Japan Drill.)

Selain mendapatkan bekal untuk menghadapi dunia kerja nanti, kami pun belajar bagaimana merintis sebuah usaha. Karena menurut kami bekerja di salah satu perusahaan desain/advertising saja sepertinya masih kurang. Dengan merintis sebuah usaha kecil-kecilan, namun dengan tekad yang kuat, kami bermimpi Oruki akan terus berkembang dan menjadi inspirasi para wirausahawan kelak.





Facebook: ORUKI
Twitter: ORUKI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar